Cerpen Cinta Sedih : Puisi Amplop Biru
Yang di kirim oleh Putri
Sebelumnya ada Baiknya Kita Lihat Biodata Sang Penulis Di bawah ini :
NAMA : PUTRI KASANAH RAMADANI
SEKOLAH : SMA N I WONOSARI
ALAMAT SEKOLAH : Jl. Katamso, Bridgen Jl. Brigjen Katamso 4, Wonosari,
Gunungkidul
Bel tanda selesai pelajaran baru saja terdengar. Aku sedang membereskan
buku-buku di laciku saat kutemukan sepucuk surat dengan amplop biru
muda terselip di buku fisikaku. Seperti biasa, hanya berisi selembar
kertas dengan satu bait puisi tertulis rapi di atasnya.
Desiran pasir menggelitik, Membangunkan sukma dari lamunan. Rona merah
timbul tenggelam, Mengelabuhi burung camar yang melintasi cakrawala.
Ini adalah surat kedelapan yang sudah aku terima. Aku tidak tahu siapa
pengirim surat-surat penuh misteri ini, bahkan apa arti dari puisi-puisi
itupun aku tidak pernah mengerti. Untung saja ada Sabrina yang selalu
bisa menerjemahkan kata-kata yang ada di puisi itu. Sabrina adalah teman
dekatku sekaligus sahabat terbaikku. Aku dan Sabrina mulai berteman 2
tahun lalu, saat kami masih duduk di kelas satu SMA, tapi kami sudah
sangat dekat bagaikan saudara kembar yang sudah dari dalam kandungan
selalu bersama.
“Aku semakin penasaran siapa ya pengirim puisi itu?,apa dia nggak
kehabisan kata-kata buat nulis puisi?, sudah delapan puisi, bayangkan
!”,kataku sembari duduk di sebelah Sabrina dan segera mencomot kue
pisang yang terhidang di meja kantin.
Sabrina hanya tersenyum, merebut amplop biru dari tanganku dan segera
membaca kata perkata dari puisi yang ada di dalamnya.
“Tapi aku akui puisinya bagus banget, dia pasti penulis puisi yang
handal”,kataku. Aku berkata serius, walaupun aku tidak paham sedikitpun
mengenai dunia puisi seenggaknya aku bisa menilai bahwa ini memang
bagus.
“Kamu suka?”, tanyanya penasaran. “Kenapa?”. “Enggak apa-apa sih, tapi
bukankah waktu pertama kali kamu nerima surat kaya gini kamu bilang
puisinya aneh?”,tanya Sabrina. Tapi sepertinya Sabrina tidak benar-benar
ingin aku menjawabnya, ia kembali sibuk memahami puisi itu.
“Artinya apa, Sab?”,aku mulai penasaran.
“Matahari itu diasumsikan sebagai kamu dan burung camar adalah si
pengirim, jadi orang yang mengirim nih surat ngerasa kamu ngasih harapan
buat dia, tapi hanya harapan semu, semacam harapan palsu gitu
deh”,jelasnya. “O gitu”, Aku mencoba mengingat-ingat apakah akhir-akhir
ini aku memberi harapan palsu buat cewek. Tapi sepertinya enggak. Bahkan
akhir-akhir ini aku tidak dekat dengan cewek manapun.
Kami diam, aku memikirkan maksud dari puisi itu dan Sabrina mungkin
sedang memikirnya juga. “Yang ngirim puisi ini romantis banget,
jangan-jangan pengirimnya cowok”,kataku asal.
“Ngawur, emangnya yang bisa romantis cuman cowok doang”,bentak Sabrina.
“Idih, kenapa kamu yang tersinggung sih?”,Protesku sambil menyingkir
satu meter darinya, jujur aku paling takut sama cewek kalau lagi marah,
apalagi Sabrina.
“Iyalah, aku kan juga cewek, don’t underestimate cewek dong”, “Iya iya,
tapi kok kayaknya kamu yakin banget kalau pengirimnya cewek?”,tanyaku
tidak mau kalah. “Emm, nggak mungkin aja kalu gay ngirim surat, kamu
kebanyakan lihat film gay ya?”,jawabnya kemudian tertawa.
“Nggak mungkin ya?”,tanyaku polos. “Nggak tahu juga, udah ah terserah
kamu aja, pulang yuk”,Sabrina segera membayar kue pisang yang ia
makan,dan setelah melihat tatapan memohonku akhirnya ia juga membayar
kue pisang yang aku makan.
“Terimakasih Sabrina yang cantik”,Pujiku. Sabrina hanya mencibir ke
arahku dan meninggalkan kantin. Bulan November telah berlalu tanpa
terasa dan Desember yang basah telah datang. Sebenarnya aku benci musim
hujan, karena kemana-mana harus membawa payung, padahal aku benci hal
yang ribet. Tapi berbeda dengan Sabrina, ia terlihat antusias menyambut
musim hujan.
“Teo!”, panggil Sabrina saat aku baru saja menginjakkan kaki memasuki
gerbang sekolah. “Hai”,aku balas menyapa.”Wah, payung kamu baru lagi
ya”,lanjutku. “Iya, tau aja”,jawabnya dengan bangga. Ia memainkan payung
biru dengan bintang-bintang imut miliknya. “Tapi kok biru
lagi?”,tanyaku.
“Iya dong, I love blue”,jawabnya sambil menunjukkan senyumnya yang
manis. Sabrina bagiku adalah cewek yang paling sempurna di dunia, dia
baik, cantik, ceria, pintar lagi. Itulah kenapa aku selalu
menlindunginya karena bagiku dia seperti adikku, walaupun dia lebih tua
dariku satu bulan.
Pelajaran pun dimulai. Jam pertama adalah pelajaran matematika, semua
murid memperhatikan apa yang dijelaskan oleh Pak Seno di depan kelas.
Tapi kulihat di sebelahku Sabrina tidak memperhatikan pelajaran sama
sekali, ia sedari tadi memegangi kepalanya. “Kamu sakit, Sab?”,tanyaku.
“Jangan panggil aku Sab, emangnya aku sapi?,Cuman sedikit
pusing”,jawabnya sambil meringis. “Bener nggak apa-apa?”,aku kembali
memastikan. Ia hanya tersenyum. Tak lama kemudian Sabrina berdiri dari
kursinya dan menghampiri Pak Seno, “Excuse me, Sir, may i go to
toilet?”,Sabrina meminta ijin kepada Pak Seno. “Sure, Brina”,jawab Pak
Seno.
Setelah mengucapkan terimakasih ia segera berjalan dengan lemah keluar
kelas. “Teo, Sabrina kok lama banget ya?”,tanya Septi yang duduk di
belakangku. Benar juga, sudah 15 menit berlalu, tapi Sabrina tidak juga
kembali dari kamar mandi. Akhirnya kuputuskan untuk menyusulnya.
“Sir, i want to go to the toilet”,kataku sambil mengangkat tangan.
Setelah mendapat ijin dari Pak Seno aku segera keluar kelas. Jarak
antara kelasku dengan kamar mandi tidak jauh, aku semakin cemas,
jangan-jangan Sabrina kenapa-napa lagi. “Sabrina !”,aku segera berlari
saat melihat tubuh Sabrina terbaring tak sadarkan diri di depan pintu
toilet perempuan.
Dengan cepat kurengkuh tubuh Sabrina dan tanpa berpikir lagi aku
kemudian membopongnya menuju UKS. “Panggil Bu Dina sekarang !
cepet!”,perintahku pada anak yang berjaga di UKS. Ia bingung tapi
kemudian segera berlari memanggil Bu Dina,guru yang aku kenal paling
memperhatikan kesehatan muridnya dan sekaligus pembina PMR.
Tangan Sabrina terasa dingin, ia sangat pucat. Aku hanya bisa
mondar-mandir di dekat tempat tidur UKS, kenapa lama sekali manggil Bu
Dinanya. “Sabrina, bangun!”,kataku lebih pada diriku sendiri. Tak lama
kemudian Pak Feri datang, ternyata Bu Dina sedang tidak ada di tempat.
“Kok bisa pingsan?,ini tadi kenapa?”,tanya Pak Feri sembari memegang
tangan dan kepala Sabrina secara bergantian,sepertinya Pak Feri juga
bingung mau berbuat apa.
“Nggak tau pak, tadi saya lihat sudah pingsan di depan toilet”,jawabku.
“Tapi tadi dia sempat mengeluh pusing waktu di kelas pak”,lanjutku.
“Lis, kamu kasih minyak kayu putih di kakinya, sama tanganya”,perintah
Pak Feri, ternyata si anak PMR tadi namanya Lisna.
“Pak, apa nggak sebaiknya di bawa ke rumah sakit aja”,usulku. “Oke,
panggil Pak Santoso biar bawa mobilnya”, “Baik Pak”,aku segera berlari
menemui Pak Santoso, guru TU di sekolahku.
Aku dan Pak Feri menunggu di luar ruang pemeriksaan saat dokter
memeriksa Sabrina. Tak lama kemudian Mama dan Papa Sabrina datang dengan
setengah berlari mereka menghampiri kami.
“Pak, saya orang tua Sabrina, bagaimana keadaannya?”,tanya Om Tedi, dia
benar-benar terlihat sangat cemas, begitu juga tante Nia.
Tak lama kemudian Dokter keluar dari ruang pemeriksaan. Kami segera
menghampirinya. “Bagaimana keadaan anak saya, Dok?”,tanya om Tedi. “Dia
koma”,kata Dokter.
“Mana mungkin, Bagaimana bisa dok?,dia tadi baik-baik saja”,tanya om
Tedi tidak percaya. Dokter segera memberi tanda pada om Tedi untuk
mengikutinya ke ruanganya. Tante Nia tak bisa menahan air matanya.
Aku masih belum percaya, nggak mungkin Sabrina koma,jelas-jelas tadi
pagi dia baik-baik aja. Mana ada koma tiba-tiba kayak gini, Sabrina kan
nggak kecelakaan atau semacamnya.
**** Cerpen Cinta Sedih : Puisi Amplop Biru Hari pertama Sabrina tidak
hadir di sekolah karena koma,aku masih belum bisa percaya. Payung
birunya masih ada di tempat payung kelas kami, aku lupa mengantarkannya
saat aku membawakan tas Sabrina ke rumahnya kemarin malam. Aku tidak
sungguh-sungguh mengikuti pelajaran hari ini, sampai-sampai sudah ketiga
kalinya aku ditegur karena ketahuan melamun.
Dua jam terakhir aku berencana ingin bolos mengikuti pelajaran, aku
ingin menjenguk Sabrina. Maka aku segera memberesi buku-bukuku setelah
jam ke enam selesai. Aku terhenti saat menemukan sepucuk surat beramplop
biru di laciku, dan untuk kesekian kalinya berisi puisi. Tapi kali ini
puisinya bukan puisi, maksudku kata-katanya tidak menggunakan bahasa
puisi yang rumit, lebih tepatnya seperti curahan hati, aku bisa
memahaminya tanpa berpikir keras dan tanpa bantuan Sabrina. Isinya
menegaskan bahwa ia cinta sama aku, tapi aku tidak memperdulikannya.
“Eh ada den Teo, ada apa den?”,tanya Mbok Inem, pembantu Sabrina setelah
membukakan pintu. “Mau ngembaliin ini, Bi”,jawabku sambil menunjukkan
payung Sabrina.
“Masuk aja den, simbok lagi masak”,kata Mbok Inem sambil membuka pintu
lebih lebar. Aku sangat sering datang ke rumah Sabrina, aku sangat
mengenal keluarga Sabrina, mereka menganggapku seperti keluarga sendiri.
Aku berencana meletakkan payung Sabrina di kamarnya dan segera pergi.
Namun, perhatianku tertuju pada beberapa buah amplop biru di atas tempat
tidur Sabrina. Aku mengambilnya, dan mengamatinya, kusamakan amplop itu
dengan amplop puisi yang aku dapat pagi ini.
“Kak, kakak ngapain di sini?”,tanya seseorang yang membuatku kaget.
Ternyata Fany, adik perempuan Sabrina yang masih duduk di kelas 2 SMP.
Ia berdiri di depan pintu.
“Eh Fany, kamu udah pulang sekolah?”,tanyaku, sedikit gugup karena
kaget. “Udah”,jawabnya sambil melihat amplop yang aku bawa.
“Kakak mau ke rumah sakit njenguk Kak Sabrina, kamu mau ikut?”,tawarku
pada Fany sambil berjalan menuju pintu, sebelum ke sini aku sempat
mengambil mobil di rumah. “Kak Teo, kamu sedih nggak Kak Sabrina
sakit?”,tanyanya saat kami dalam perjalanan ke RS. Aku sedikit kaget
mendengar pertanyaan Fany, apa yang sedang ia pikirkan?.
“Tidak ada yang lebih menyedihkan dari ini, Fan”,jawabku jujur. “Apakah
kakak suka sama Kakakku?”. Aku diam. Apakah perlu aku menjawab
pertanyaannya?,aku bahkan tidak tahu apakah aku tahu jawabannya.
“Kakakku cantik lho, dia baik,dan pintar”,katanya sambil terus menatap
ke depan, dari suaranya aku tahu dia sebenarnya takut menanyakan ini
padaku. Sepertinya pertanyaan ini begitu penting hingga ia harus
mengumpulkan keberanian untuk menanyakannya padaku.
”Kamu sudah makan?,aku beliin pizza ya?”,tanyaku berusaha mengalihkan
pembicaraan. Aku tidak bisa membiarkan suasana yang kaku ini lebih lama.
Ia mengangguk.
Malam ini sedikitpun aku tidak bisa memejamkan mata. Pertanyaan Fany
masih terus menghantui pikiranku. Tidak hanya itu, amplop-amplop biru di
kamar Sabrina juga membuat jantungku berdegup lebih kencang. Entahlah,
mungkin aku bingung sekaligus takut. Aku putuskan untuk keluar rumah
untuk mencari udara segar. Aku berjalan menuju taman di kompleks kami,
aku baru saja hendak pergi karena menyadari seharusnya aku tidak di sini
saat hujan deras tiba-tiba mengguyur, aku berlindung di halte bus.
“Seharusnya aku membawa payung”,gerutuku dalam hati.
Cerpen Cinta Sedih : Puisi Amplop Biru Tiba-tiba ada seseorang yang
menepuk pundakku,“Ternyata, kamu mau datang ke sini juga saat tidak ada
aku”,katanya sambil tersenyum melihat ekspresi kagetku. Aku tidak
percaya apa yang aku lihat tapi senyumnya tak dapat dipungkiri
benar-benar membuatku tenang.
“Bagaimana bisa kamu ada di sini, Sab?,Apakah kamu sudah
sembuh?”,tanyaku sambil mengamatinya, ia memang terlihat baik-baik saja.
“Aku sudah baik-baik saja”,jawabnya.
“Aku benar-benar tidak tahu kalau kamu siuman, kalau aku tahu pasti aku
langsung pergi ke rumah sakit sesibuk apapun aku”,jawabku merasa
bersalah.”Aku pasti akan menjemput sang putri”,lanjutku. Ia mencibirku.
Kemudian aku sadar kalau aku selama ini sering sekali menggombal
padanya.
“Kamu tahu kenapa aku suka hujan?”,tanyanya sambil melihat hujan. Aku
mengikuti pandangannya. Aku menggeleng. “Karena hujan itu romantis,
kayak puisi”,katanya sambil tersenyum. “Sejak kapan kamu suka
........”,aku berhenti, baru saja aku ingin bertanya apakah dia menyukai
puisi tiba-tiba aku teringat sesuatu.
“Namaku Sabrina, aku sangat menyukai puisi itulah kenapa namaku Sabrina
Putry. Poetry yang berarti puisi”,kata Sabrina waktu itu saat
memperkenalkan dirinya di depan kelas.
Dia tersenyum melihatku salah tingkah. “Wajar kalau kamu lupa, toh nggak
penting juga”,katanya sambil tersenyum. Aku dapat melihat kekecewaan di
senyumnya, aku berani melakukan apapun untuk menghapus ekspresi itu
darinya, aku benar-benar tidak ingin melihatnya begitu terluka seperti
sekarang ini. Untuk pertama kalinya aku merasa canggung di depan
Sabrina.
Aku tahu arah pembicaraannya, aku merasa ia ingin membahas puisi-puisi
yang selama ini aku terima. Namun, ia tidak kunjung mengatakan sesuatu,
ia masih melihat hujan yang perlahan mulai mereda. Sepertinya ia
menungguku mengatakannya terlebih dahulu.
‘Ayolah Teo, tanyakan padanya tentang puisi itu !, bukankah sudah jelas
bukti-buktinya?,amplop, puisi, warna biru, tunggu apa lagi Teo?’, kataku
dalam hati pada diriku sendiri. Namun, bibirku terasa membeku, seolah
sudah tidak mau lagi menerima perintah dari pemiliknya kata yang keluar
dari bibirku justru jauh dari apa yang ada dipikiranku.
“Aku pulang dulu ya, mumpung hujannya reda”, kataku sambil berjalan
meninggalkannya. Aku tak bisa henti-hentinya mengutuk diriku sendiri
yang tiba-tiba begitu bodoh di depan Sabrina, namun hal itu membuatku
sadar akan perasaanku. Aku akan canggung apabila aku mencintai
seseorang, itulah kenapa setelah kejadian malam ini dan setelah merasa
tersiksa berhari-hari tanpa kehadirannya, aku baru yakin bahwa ini
memang cinta.
Cerpen Cinta Sedih : Puisi Amplop Biru Pagi ini mendung melapisi langit,
namun untuk pertama kalinya aku tersenyum karenanya. Hari ini aku
berniat ingin mengutarakan isi hatiku pada Sabrina, dan mungkin hari ini
akan jadi lebih romantis apabila hujan turun. Tidak seperti biasanya,
hari ini aku membawa payung. Aku berangkat dengan penuh kesiapan, bahkan
aku sempat mencium tangan Mama dan Papa. Aku berjalan melalui jalan
yang tidak biasanya, tidak melewati rumah Sabrina. Alasannya karena aku
masih membutuhkan waktu sebentar untuk mengumpulkan keberanian sebelum
bertemu Sabrina. Semua orang menatapku saat aku memasuki ruang kelas.
“Hai, aku berangkat pagi kan?,karena ini hari spesial, kalian tahu
kenapa spesial karena hari ini Sabrina akan berangkat sekolah
lagi”,kataku sambil menebar senyum kepada semua murid. “Teo, apa kamu
nggak tahu?”,tanya Denis.
“Tahu apa?”, tanyaku masih dengan wajah berseri-seri. “Sabrina meninggal
kemarin sore”,jawab Denis sambil menatapku penuh iba. Wajahku memanas,
aku tidak mau percaya, tapi air mataku telah menetes.
“Bohong!, jelas-jelas tadi malam Sabrina menemuiku di taman, jangan
bohong padaku, ini tidak lucu!”,bentakku padanya dengan suara parau.
Mereka diam seribu bahasa, sebagian anak justru menangis, semua ini
membuatku bingung. Aku berlari menuju rumah Sabrina, tidak peduli hujan
yang membasahi tubuhku bahkan dinginnya mencapai hatiku hingga
kerelung-relungnya.
Jantungku seakan hampir meledak saat melihat bendera kuning terpasang di
gerbang kompleks Sabrina. Aku berlari dengan sisa kekuatan yang aku
miliki memastikan bukan rumah Sabrina yang sedang berduka. Namun itu
memang rumah Sabrina.
Aku berdiri di luar, aku tidak berani masuk, aku takut. “Masuk kak,
temani kak Sabrina sebelum ia di kubur, Kak Teo sangat berarti bagi Kak
Sabrina. Kakak pasti sudah tahu puisi-puisi itu dari Kak Sabrina,
iyakan?”, tanya Fany. Aku tidak bisa bergerak, aku runtuh. Aku menyesali
kebodohanku di tengah hujan yang kini terasa begitu menyakitkan
>
Cerpen cinta
09.53 |
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar